Kata
terpopuler dipikiran saya hari ini adalah “durian runtuh”. Makna istilah “mendapat
durian runtuh” yang saya tahu adalah mendapatkan keuntungan tanpa perlu
bersusah payah, berdarah-darah, atau bercucur keringat. Ada juga sumber lain
yang mengartikan sebagai memperoleh keuntungan dengan tidak disangka-sangka. Kata
“durian” diartikan sebagai keuntungan dan kata “runtuh” diartikan sebagai
sesuatu yang tidak diperkirakan sebelumnya. Buah durian yang jatuh dari pohon
atau masak pohon memang rasanya lebih enak dari pada durian yang dipetik dan
diperam hingga masak. Aromanya pun lebih kuat durian yang masak pohon
dibandingkan dengan durian hasil peraman. Selain itu, buah durian juga dikenal
sebagai buah dengan nilai ekonomis yang lumayan tinggi. Mungkin itulah musabab kata
durian digunakan untuk menggambarkan keberuntungan yang besar yang tidak pernah
kita duga sebelumnya.
Terlepas
dari maksud durian runtuh sebagai istilah, apa jadinya jika ada pohon durian
yang anda tanam, rawat, beri pupuk, dijaga dari hama dan gulma, kemudian anda
tunggu berbuah hingga buah itu masak pohon dan anda tunggu hingga durian itu
jatuh sambil berharap-harap buah durian itu tidak lebih dahulu dimakan hewan
atau ulat, apakah durian yang jatuh itu masih akan dianggap sebagai
keberuntungan?. Apakah tenaga, biaya, pikiran, do’a, keringat, waktu, bahkan
darah yang kira curahkan untuk merawat pokok durian hingga ia berbuah tidak
dimaknai sebagi ihktiar?. Petani durian pasti tidak setuju jika setiap durian
yang jatuh di kebunnya dianggap diperoleh tanpa usaha, tanpa susah payah. Pokok
durian itu tidak serta merta tumbuh, berbuah, masak pohon, dan jatuh dengan
sendirinya di kebunnya. Ada proses yang harus dilakukan, ada waktu yang harus
dinantikan, dan mungkin ada biaya yang harus dikeluarkan. Tapi bagaimana bila
tetangga, saudara, atau orang lain menganggap pokok durian yang berbuah nan
nikmat di kebunnya itu dianggap diperoleh tanpa upaya? Dia serta merta ada tanpa
perlu usaha? Jawabnya...yaa sudah laaah.
Begitulah
adanya, terkadang orang lain melihat kita hanya pada apa yang kita peroleh saat
ini. Orang lain tidak akan melihat bagaimana proses memperoleh capaian kita,
karena itu pasti bukan sesuatu yang menarik. Banyak kisah tentang bagaimana
seorang konglomerat memulai usahanya, bertahun-tahun hidup prihatin, mengalami
berulang kali kebangkrutan, menghadapi bermacam tekanan dan hinaan, hingga dia
pantang menyerah dan akhirnya mendapat apa yang diinginkan.